Sasakala Banjar Patroman
Tersebutlah seorang pemuda pengelana yang
berasal dari Mataram bernama Adananya. Singkat
cerita, dalam perjalanan pengelanaannya, ia terpikat
oleh seorang gadis cantik di sebuah kampung bernama
Pataruman. Adananya pun melamar gadis tersebut
pada ibunya, namun ibunya tidak mengijinkan karena ia
mengetahui bahwa Adannya seorang Raja dari
Mataram. Ia merasa sungkan karena hanyalah rakyat
biasa. Gadis cantik tersebut pun akhirnya melarikan diri
dari rumah ibunya ke arah barat.
Dalam pelariannya, gadis tersebut terjerat areuy
di hutan belantara, sehingga kakinya berdarah.
Adananya pun terus mengejarnya, dengan mengikuti
jejak bercak darah gadis yang menempel pada areuy.
Pada saat itulah Adananya menamai daerah tersebut
dengan nama Cibeureum, karena melihat banyaknya bercak darah pada areuy layaknya air yang berwarna
merah. Pada saat Adananya mengejar sang gadis, datanglah seorang pemuda tampan berniat menolong. Pemuda tampan itu pun kemudian mencegat Adananya di sebuah bukit, yang kini dinamakan Tepung Kanjut, yang berarti tempat bertemunya dua orang lelaki. Bertemu dalam bahasa Sunda disebut tepung dan kelamin lelaki disebut kanjut. Di tempat itu, kemudian Adannya dan pemuda penolong tersebut bertarung adu kesaktian.
Dalam pertarungan itu, kemudian Adananya mengetahui bahwa pemuda penolong tersebut bernama Dalem Tambakbaya atau Raden Singaperbangsa yang bergelar Adipati Kertabumi III. Ia adalah Raja Galuh Kertabumi yang beribukota di Liung Gunung, yang kini menjadi nama sebuah kampung di kecamatan Manonjaya. Adapun Adananya adalah seorang ulama penyebar agama Islam dari Mataram yang sebenarnya bernama Kanduruan
Pandusaka Sarikusumah yang kelak dipusarakan di situs Pandusaka Batulawang.
Kembali pada kisah pertarungan Adananya dan Tambakbaya. Di dalam pertarungan itu, kesaktian keduanya seimbang. Akhirnya, keduanya pun kembali mengejar sang gadis. Sementara, gadis cantik tersebut berlari secepat kilat ke arah tenggara. Kemudian dikejar oleh Adannya dan Tambakbaya.
Selama pengejaran, Adananya dan Tambakbaya adu kecepatan berlari dengan kesaktiannya masingmasing.
Hingga di suatu tempat. Ketika Adananya sedang berdiri (bahasa Sunda: ngadeg), terkejar oleh Tambakbaya. Sejak itulah tempat tersebut sampai sekarang disebut Pangadegan. Mungkin juga berasal dari kata pangudagan, yang berarti tempat untuk mengejar.
Adapun gadis yang sedang dikejar mereka, sedang beristirahat karena kelelahan. Namun, ketika Adananya akan menangkapnya, Tambakbaya dengan gerak cepat segera menghalaunya. Kedua pemuda itupun kemudian bertarung kembali. Adannya mengeluarkan ilmu pamungkasnya, yakni pukulan saketi. Tapi, Tambakbaya dapat menghindar dengan cara menghilang memakai ajian halimunan. Sehingga kelihatannya ngan sajorélat atau hanya sekejap mata. Tempat menghilangnya sosok Tambakbaya itulah, yang sekarang dinamakan kampung Jélat. Berasal dari kata sajorélat, yang artinya menghilang sekejap mata atau secepat kilat.
Sementara itu, gadis yang dikejar oleh Adananya dan Tambakbaya terus berlari. Kini perjalanannya mengarah kembali ke rumah ibunya. Namun sesampainya di sana, ibunya didapati sudah tidak ada. Ternyata ibunya pun turut mengejar saat ia melarikan diri pada saat itu. Dalam pengejarannya, ibunya sempat bertemu dengan Adananya yang sedang kaget melihat Tambakbaya menghilang di kampung Jelat. Langsung saja ibu gadis tersebut bertanya dalam bahasa Jawa ke Adananya. “Mana laré?”, katanya kepada Adananya, Maksudnya menanyakan ke mana arah larinya anaknya. “Ke sana, ke arah selatan,” timpal Adananya.
Tempat dialog antara Adananya dengan ibunya sang gadis tersebut, sekarang dinamakan kampung Mandalaré, berasal dari Mandala laré, juga dari ucapan sang ibu: mana lare. Kenapa sang gadis tidak terkejar oleh Adananya dan Tambakbaya? Ternyata gadis tersebut memiliki kesaktian yang lebih tinggi. Ia sebenarnya bukan anak sang ibu, tapi putri dari kerajaan Galuh yang bernama Ni Nursari. “Gadis itu memang lebih sakti dariku,” gumam Adananya.
Setelah itu, Adananya pun ngarandeg (berhenti) untuk beristirahat. Tempat perhentian itu kemudian dinamai kampung Randegan. Sesaat kemudian, tibalah Tambakbaya yang juga kelelahan. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, kini mereka tidak bertarung. Karena tenaga keduanya sama-sama sudah terkuras habis. Cukup lama Adananya dan Tambakbaya beristirahat di kampung Randegan. Setelah itu, mereka pun kembali mengejar Ni Nursari.
Sepanjang jalan mereka terus beradu pendapat mengenai Ni Nursari yang sedang dikejarnya. Adannya tetap berpendirian ingin memperistrinya, sedangkan Tambakbaya tetap ingin menolong Ni Nursari dari paksaan Adananya. Jalan sepanjang Adananya dan Tambakbaya beradu pendapat itulah yang sekarang dikenal dengan nama kampung Cikadu. Berasal dari kata papaduan, yang berarti berselisih pendapat.
Sementara itu, Ni Nursari lari ke arah utara. Lalu menyeberangi sungai Citanduy. Adananya dan Tambakbaya pun terus mengejarnya, namun Ni Nursari larinya lebih cepat. Di sebrang sungai, ketiganya pun ngaleungit (menghilang). Semakin lama, sungai Citanduy pun semakin ramai disinggahi para bandar (pedagang) dari kerajaan Galuh dan Mataram. Daerah di tepi sungai Citanduy pun kemudian dikenal dengan nama kampung Bandar (pedagang atau pusat perniagaan).
Semakin lama, kampung Bandar pun semakin banyak disinggahi bandar-bandar (para pedagang) dari Mataram. Bahasa yang digunakan penduduk pun bercampur, antara bahasa Sunda dengan bahasa Jawa, yang oleh penduduk setempat disebutnya basa Jawa réang.
Adapun kampung tempat Ni Nursari dan ibu angkatnya tinggal selanjutnya dinamakan kampung Bandar Pataruman. Konon kata pataruman berasal dari kata patarungan, sebagai pangeling-eling atas peristiwa pertarungan antara Adananya dan Tambakbaya memperebutkan Ni Nursari pada saat itu. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa di kampung itu banyak ditanami pohon tarum, yakni sejenis tanaman nila yang pada masa kolonial dijadikan tanaman paksa. Sehingga daerah tersebut dikenal dengan nama pataruman atau tempat tarum.Semakin lama, kampung Bandar Pataruman pun semakin ramai disinggahi para pedagang dari kerajaan Galuh dan Mataram.
Di antara para pedagang itu banyak berjodoh dengan penduduk setempat dan banyak pula yang bermukim. Nama Bandar Pataruman pun berubah menjadi Banjar Patroman, karena pada waktu itu banyak diucapkan salah oleh pendatang dari Mataram. Namun, adakalanya kampung Banjar Patroman pun disebut Banjar saja. Kini, kampung Banjar yang letaknya di pinggir sungai Citanduy itu telah berkembang menjadi sebuah kota yang membatasi wilayah antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah.
15/12/2019 - 13 38 PM
SUMBER : http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/196302101987031-YAYAT_SUDARYAT/TOPONIMI%20JABAR/5._Sasakala_Tempat.pdf